kaltengpedia.com – Tiga tahun setelah dilantik pada 30 Agustus 2021, keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Tengah periode 2021–2024 mulai mendapat sorotan. Dengan susunan anggota yang terdiri dari Henoch Rents Katoppo, Eni Artini, At Prayer, Nisa Rahimia, Chris Philip Alessandro, Ilham Busra, dan Ahmada Dahlan, publik kini mempertanyakan apa saja capaian konkret yang telah diraih lembaga ini.
Dibentuk melalui proses seleksi ketat, mulai dari pendaftaran hingga uji kelayakan dan kepatutan di DPRD Kalteng, sejatinya KPID Kalteng diharapkan mampu menjadi garda depan dalam mengawasi dunia penyiaran yang sehat, informatif, dan edukatif. Namun, dalam perjalanannya, belum tampak lompatan signifikan dalam menjawab tantangan zaman, khususnya pada era disrupsi digital dan membanjirnya konten di media sosial.
Sebagaimana diketahui, fungsi utama KPID mencakup pengawasan isi siaran, memberikan rekomendasi perizinan lembaga penyiaran, serta melindungi publik dari konten-konten bermasalah di ranah televisi dan radio. Namun di era saat ini, batas antara media konvensional dan digital telah kabur. Gelombang konten di YouTube, TikTok, Instagram, hingga Facebook kini menjadi konsumsi utama masyarakat, terutama generasi muda.
Sayangnya, KPID Kalteng secara struktural belum memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi media sosial. Hal ini diakui langsung oleh Ketua KPID Kalteng, Ahmada Dahlan, dalam sebuah pernyataan pada 30 Oktober 2024 dikutip dari RRI.co.id. Ia menegaskan bahwa meski KPID menyadari maraknya kampanye hitam dan ujaran kebencian di media sosial menjelang pemilu, lembaga tersebut belum bisa masuk ke ranah tersebut.
“Kami juga mengajak masyarakat pro aktif melapor kepada KPID terdekat, manakala melihat atau menemukan sejumlah konten yang berbau SARA, dan ujaran kebencian maupun kampanye hitam menyerang salah satu paslon,” ujarnya.
Sayangnya, hingga kini belum terlihat inisiatif KPID Kalteng untuk menjalin kolaborasi dengan para konten kreator lokal maupun pemilik akun media sosial besar di Kalimantan Tengah. Padahal langkah tersebut bisa menjadi solusi strategis untuk memperluas edukasi publik soal penyiaran sehat, menangkal hoaks, hingga membangun literasi digital.
Berdasarkan pantauan litbang Kaltengpedia, KPID Kalteng juga belum secara aktif menggandeng platform populer lokal ataupun membuat program digital yang menyasar anak muda. Bahkan, dalam masa kepemimpinan Gubernur Agustiar Sabran dan Wakil Gubernur Edy Pratowo yang cukup terbuka terhadap inovasi digital, KPID terkesan jalan di tempat.
Menjelang habis masa jabatan pada 2025, KPID Kalteng semestinya dapat meninggalkan warisan yang lebih kuat — tidak hanya dalam bentuk pengawasan terhadap siaran televisi dan radio, namun juga penguatan literasi digital masyarakat. Ini bisa diwujudkan lewat sinergi lintas sektor: pemerintah daerah, komunitas media sosial, hingga institusi pendidikan.
Jika tidak segera berbenah dan adaptif, dikhawatirkan KPID Kalteng akan semakin kehilangan relevansi di tengah derasnya arus informasi digital yang belum tentu akurat dan bertanggung jawab.






















