kaltengpedia.com – Kebijakan Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), H. Agustiar Sabran, yang membatasi para pejabat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng untuk berbicara langsung kepada wartawan, memantik sorotan tajam dari kalangan akademisi hingga pegiat kebebasan pers. Langkah yang diklaim sebagai strategi komunikasi ini justru dianggap sebagai bentuk pembungkaman informasi publik dan refleksi sikap antikritik dari pemimpin daerah.
Akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Srie Rosmilawati, menyebut bahwa model komunikasi satu pintu tersebut memang dikenal dalam sistem komunikasi organisasi. Namun dalam konteks pemerintahan yang seharusnya menjunjung transparansi, pembatasan ini berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
“Secara teoritis, ini bentuk komunikasi tersentralisasi. Tapi jangan lupa, negara demokratis menuntut akses terbuka terhadap informasi publik. Ketika hanya satu suara yang diperbolehkan berbicara, maka media akan kehilangan ruang klarifikasi, publik kehilangan hak informasi, dan ini berbahaya,” jelas Srie, Sabtu (2/8/2025).
Ia menambahkan, dalam konteks komunikasi publik, pendekatan semacam ini bisa menciptakan opini negatif bahwa pemerintah sedang menyembunyikan sesuatu. Terlebih di era digital, pembatasan informasi malah bisa mendorong lahirnya hoaks dan spekulasi liar.
Lebih tajam lagi, Srie menilai kebijakan ini bisa dikategorikan sebagai bentuk pengendalian narasi dan penghalang kebebasan pers. “Kalau media hanya boleh menyampaikan apa yang diizinkan, maka fungsi watchdog pers terancam. Ini bentuk pelemahan demokrasi yang patut dikritisi,” cetusnya.
Sementara itu, Gubernur Agustiar Sabran berdalih, kebijakan ini ditempuh demi mencegah kesalahan informasi yang bisa muncul dari pejabat yang tidak memahami substansi kebijakan. Ia menegaskan hanya dirinya dan Plt Kepala Diskominfosantik yang diberi kewenangan menyampaikan informasi ke publik.
“Banyak pejabat yang tidak mengikuti kegiatan secara langsung. Kalau ditanya wartawan, nanti jawabannya tidak nyambung. Jadi biar langsung dari saya atau Plt Diskominfosantik,” tegas Agustiar beberapa waktu lalu.
Namun, logika tersebut justru dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap kapasitas ASN dan pejabat publik yang seharusnya kompeten dalam menjelaskan program kerjanya. Selain itu, pengambilan kendali penuh atas komunikasi publik juga memberi sinyal kuat bahwa gubernur tak nyaman dikritik atau diawasi.
Kritik juga muncul dari kalangan wartawan yang merasa ruang kerja jurnalistiknya makin sempit. Akses yang terbatas membuat peliputan menjadi timpang, hanya menyandarkan satu sumber, tanpa ruang untuk cover both sides yang seimbang.
“Jika semua harus lewat satu pintu, maka informasi tidak lagi dinamis. Media menjadi corong, bukan lagi pengawas,” sindir seorang wartawan senior di Palangka Raya yang enggan disebutkan namanya.
Meski Agustiar mengaku bersedia dikonfirmasi langsung, realitas di lapangan tidak semudah itu. Tidak semua wartawan dapat menjangkau Gubernur dengan cepat, dan kondisi ini semakin memperjelas bahwa kebijakan ini mengarah pada kontrol total komunikasi.
Pertanyaan Besar: Transparansi atau Represi?
Kini, publik Kalteng patut bertanya: apakah ini upaya menjaga kualitas informasi, atau strategi senyap untuk membungkam kritik dan kontrol media? Jika komunikasi pemerintah hanya berjalan satu arah, maka risiko stagnasi informasi dan budaya antikritik bisa mengakar.
Kebijakan ini bisa menjadi preseden buruk bagi keterbukaan informasi di Kalimantan Tengah. Dan jika tidak dikoreksi, bukan tidak mungkin akan memperkuat anggapan bahwa Gubernur Agustiar Sabran mulai alergi terhadap kritik dan cenderung menyelimuti pemerintahannya dengan selimut bisu.






















