kaltengpedia.com – Pemberitaan mengenai dugaan praktik mafia tanah di Palangka Raya yang menyeret nama mantan Lurah Kalampangan sekaligus Plt Kepala Dinas Perhubungan Kota Palangka Raya, Hadi Suwandoyo, akhirnya mendapat klarifikasi resmi dari kuasa hukumnya.
Melalui surat klarifikasi Nomor: 10/ADV-GRH/SRT/VIII/2025 tertanggal 20 Agustus 2025, Guruh Eka Saputra, S.H., M.H., dari Kantor Hukum GRH Law Office yang bertindak sebagai kuasa hukum Hadi, menegaskan bahwa pemberitaan berjudul “Mantan Lurah Kalampangan Hadi Suwandoyo Diduga Memiliki Ratusan Hektar Tanah” adalah tidak benar, hoaks, dan fitnah.
Hak Jawab Kuasa Hukum Hadi Suwandoyo
Dalam klarifikasinya, kuasa hukum menegaskan sejumlah poin penting:
-
Berita tidak berimbang. Pemberitaan tersebut tidak didahului dengan konfirmasi maupun verifikasi kepada kliennya, sehingga bertentangan dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
-
Label mafia tanah tidak berdasar. Tuduhan bahwa Hadi Suwandoyo menguasai ratusan hektare tanah disebut fitnah yang menyerang martabat dan kehormatan pribadi.
-
Sengketa antar-kelompok tani. Persoalan lahan Kalampangan–Sabaru disebut murni konflik antar-kelompok tani yakni Kelompok Tani Jadi Makmur I dan Kelompok Tani Lewu Taheta bukan monopoli pribadi kliennya. Sengketa ini bahkan sudah dilaporkan ke Polda Kalteng dan saat ini masuk tahap penyidikan.
-
Tidak ada jual beli ilegal. Kuasa hukum menegaskan Hadi maupun keluarganya tidak pernah melakukan praktik jual beli tanah transmigrasi. Tuduhan itu dinilai mengada-ada dan menyesatkan publik.
-
Ancaman jalur hukum. Selain meminta media melakukan koreksi dan men-takedown pemberitaan yang merugikan, pihak Hadi juga menyatakan siap menempuh jalur hukum atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong.
Kuasa hukum menjelaskan, lahan yang dipersoalkan sebenarnya berawal dari program transmigrasi Kalampangan tahun 1980. Warga transmigran kala itu membentuk Kelompok Tani Jadi Makmur I yang mendapat Surat Pernyataan Tanah (SPT) sejak 1997.
Namun setelah adanya pemekaran Kelurahan Sabaru pada 2003, muncul klaim dari kelompok baru yang memicu sengketa lahan hingga kini.