kaltengpedia.com – Aroma busuk praktik mafia tanah kembali menyeruak di Kalimantan Tengah. Nama Hadi Suwandoyo, mantan Lurah Kalampangan, menjadi sorotan setelah sejumlah warga menudingnya menguasai ratusan hektare lahan secara tidak wajar.
Ironisnya, masyarakat adat Dayak yang masih sulit memperoleh lahan produktif justru harus menyaksikan seorang mantan pejabat publik diduga menjadi “pemain besar” dalam bisnis tanah di Palangka Raya.
Dugaan Mafia Tanah dan Celah Hukum
Sejumlah warga menyebut Hadi memanfaatkan kewenangannya saat menjabat lurah untuk menerbitkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Tanah (SPT). Praktik ini diduga melanggar UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001) serta Pasal 385 KUHP tentang penggelapan hak atas tanah.
“Ini bukan sekadar soal tanah. Indikasinya sudah masuk kategori mafia tanah. Ada konflik kepentingan yang harus diusut,” tegas Men Gumpul, Ketua Kalteng Watch, Sabtu (16/8/2025).
Kasus Lama yang Hilang, Penyidik Mandek
Publik masih mengingat bahwa pada 2016, Hadi pernah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Polresta Palangka Raya, namun kasus itu menguap tanpa kejelasan.
Belakangan, ia juga sudah dipanggil penyidik Polda Kalteng terkait tumpang tindih SPT. Namun hingga kini, tidak ada perkembangan berarti. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah aparat benar-benar bekerja, atau ada perlindungan politik?
Klaim Sepihak 850 Hektare
Kasus paling mencolok adalah klaim atas lahan 850 hektare di Kelurahan Sabaru, Kecamatan Sabangau. Lahan yang sejak lama dikelola sembilan kelompok masyarakat adat itu tiba-tiba diklaim Kelompok Tani Jadi Makmur, yang disebut berada di bawah kendali Hadi.
“Tanah itu bukan kosong. Kami sudah puluhan tahun merawatnya. Tiba-tiba diklaim sepihak,” ujar seorang tokoh masyarakat Sabaru.
Ketidakadilan Sosial
Fenomena ini menimbulkan kecemburuan sosial. Banyak masyarakat Dayak, terutama di bantaran Sungai Kahayan—mulai dari Bereng Bengkel, Kameloh, hingga Sabaru—masih belum memiliki lahan sah secara hukum.
“Organisasi masyarakat Dayak seolah lumpuh menghadapi manuver satu pejabat. Ini memalukan,” ungkap seorang warga.
Uji Nyali Aparat Penegak Hukum
Bagi Kalteng Watch, kasus ini menjadi momentum menguji keberanian aparat.
“Kalau dibiarkan, hukum tampak tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kita butuh ketegasan, bukan kompromi,” tegas Gumpul.
Hingga berita ini diturunkan, Inspektorat Kota Palangka Raya belum memberi keterangan resmi. Namun Kalteng Watch memastikan akan terus mengawal kasus ini, mengumpulkan bukti, dan mendorong kejaksaan maupun kepolisian membuka penyelidikan.
Kini, bola panas ada di tangan aparat penegak hukum. Pertanyaan publik semakin menguat: Beranikah pemerintah menindak tegas, atau justru membiarkan mafia tanah terus berakar di Palangka Raya?