kaltengpedia.com – Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi sektor pendidikan di Indonesia, dengan dua kepala daerah menonjolkan pendekatan unik mereka. Gubernur Kalimantan Tengah Agustiar Sabran dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusung dua visi berbeda dalam membangun dunia pendidikan di daerahnya masing-masing, namun sama-sama menunjukkan komitmen kuat terhadap masa depan generasi muda. Dihimpun dari berbagai sumber, berikut beberapa perbedaan dua kepala daerah ini :
Kalteng: Akses Merata dan Gratis di Era Agustiar Sabran

Gubernur Agustiar Sabran menegaskan bahwa tidak ada anak di Kalimantan Tengah yang boleh tertinggal dalam pendidikan. Dalam pidatonya pada HUT ke‑68 Provinsi Kalteng, ia menyampaikan:
“Kami tidak ingin ada anak dari desa atau kota yang tidak bisa sekolah maupun kuliah, kami tidak ingin ada anak yang tidak bisa berobat,”.
Langkah konkret Agustiar Sabran:
-
Sekolah dan Kuliah Gratis: Program kerja sama dengan 32 perguruan tinggi negeri dan swasta untuk menjamin pendidikan tinggi gratis bagi siswa tidak mampu.
-
Digitalisasi Sekolah: Penyediaan ribuan TV interaktif, jaringan internet via Starlink, dan panel surya untuk SMA/SMK di wilayah terpencil.
-
Peningkatan Sarpras: Rehabilitasi kelas, peningkatan guru P3K, serta sidak ke sekolah untuk menyerap aspirasi guru dan siswa.
-
Program “Gubernur Mengajar” yang menjangkau lebih dari 97.000 siswa SMA se-Kalteng pada Mei 2025.
-
Pasar murah & dialog langsung: Sebagai bentuk perhatian terhadap ekonomi keluarga siswa dan pendidikan berbasis aspirasi masyarakat.
“Pendidikan bukan hanya soal ruang kelas, tapi tentang memastikan anak-anak Dayak, Banjar, Jawa, dan semua suku bisa maju bersama,” ujar Agustiar saat sidak ke SMAN 3 Palangka Raya.
Jawa Barat: Efisiensi Anggaran dan Pendidikan Karakter ala Dedi Mulyadi

Di sisi barat, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membawa gebrakan besar dalam sistem pendidikan dengan menekankan efisiensi anggaran dan pembentukan karakter.
Program unggulan Dedi Mulyadi:
-
Reformasi Sistem Penerimaan Siswa (SPMB): Transparansi seleksi, penindakan kecurangan, dan solusi penuh daya tampung melalui bantuan ke sekolah swasta.
-
Kebijakan Rasio Tinggi: Perbolehkan hingga 50 siswa per kelas sebagai solusi darurat mengatasi angka putus sekolah (Media Indonesia, Juni 2025).
-
Pendidikan Karakter & Bela Negara: Pelibatan TNI/Polri dalam membentuk integritas pelajar dan ASN.
-
Sekolah Kebangsaan “Jabar Istimewa”: Pendampingan khusus untuk anak yatim-piatu diarahkan ke pendidikan militer atau perguruan tinggi.
-
Efisiensi Anggaran: Penghapusan program seremonial dan studi wisata sekolah, diganti dengan pembangunan ruang kelas dan subsidi sarana dasar.
“Saya tidak mau uang rakyat dihabiskan untuk tepuk tangan dan bunga-bunga. Gunakan untuk ruang kelas, bukan ruangan rapat,” tegas Dedi Mulyadi dalam HUT Jabar 2025″.
Aspek | Agustiar Sabran (Kalteng) | Dedi Mulyadi (Jawa Barat) |
---|---|---|
Fokus utama | Pemerataan akses, pendidikan gratis | Efisiensi anggaran, pendidikan karakter |
Infrastruktur | Digitalisasi terpencil, sarpras sekolah | Penambahan ruang kelas, realokasi dana |
Pendekatan karakter | Kearifan lokal, motivasi siswa & orang tua | Wajib bela negara, disiplin, dan inklusi |
Metode partisipatif | Sidak, dialog publik, program langsung | Regulasi administratif dan seleksi ketat |
Kontroversi | – | PR dihapus, wajib militer untuk siswa “nakal” |
Di Kalimantan Tengah, Agustiar Sabran menitikberatkan pada penghapusan hambatan akses, menjamin pembiayaan, dan memperkuat sarana digital untuk daerah 3T. Sementara itu, Dedi Mulyadi di Jawa Barat memilih jalur reformasi sistemik, efisiensi anggaran, dan penanaman karakter keras melalui pendekatan militeristik dan moral-spiritual.
Dua pendekatan yang berbeda, namun keduanya menunjukkan satu hal yang sama: komitmen terhadap kemajuan pendidikan sebagai pondasi utama pembangunan daerah.