Banyak Masalah Perkebunan Sawit di Seruyan: Apa Penyebabnya?

kaltengpedia.com – Di tengah upaya Kabupaten Seruyan menyusun dokumen sertifikasi yurisdiksi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), berbagai masalah terkait perkebunan kelapa sawit mencuat ke permukaan. Koalisi masyarakat sipil mengungkap sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan aktivitas perkebunan di kawasan terlarang.

Laporan dari organisasi seperti Progress, Walhi Kalimantan Tengah, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), Yayasan Barauntu Berkarya Indonesia (YBBI), dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, menyoroti berbagai konflik agraria di Seruyan. Konflik ini kerap melibatkan perusahaan besar seperti PT Bangun Jaya Alam Permai (BJAP), PT Tapian Nadenggan (Sinarmas Group), dan PT Hamparan Masawit Bina Persada I (Best Group).

Bacaan Lainnya

Konflik Tak Kunjung Usai

Direktur Progress, Kartika Sari, menjelaskan bahwa konflik antara warga dan perusahaan perkebunan sawit di Seruyan berlangsung bertahun-tahun tanpa penyelesaian. Bahkan, dalam beberapa kasus, konflik berujung pada tindak kekerasan dan korban jiwa. “Seharusnya, kehadiran perusahaan sawit membawa kesejahteraan. Namun yang terjadi malah sebaliknya, masyarakat justru dirugikan,” ujar Kartika.

Selain itu, Djayu dari YMKL menyatakan bahwa sertifikasi sawit selama ini belum efektif melindungi hak masyarakat adat dan komunitas lokal. “Perampasan tanah dan kerusakan lingkungan terus terjadi. Pendekatan sertifikasi berbasis yurisdiksi tidak boleh hanya menjadi formalitas,” tegasnya.

Sertifikasi RSPO di Tengah Masalah

Pendekatan sertifikasi RSPO berbasis yurisdiksi di Seruyan menjadi sorotan. Menurut Abdul Haris dari TuK Indonesia, manfaat dari sertifikasi ini masih dipertanyakan. “Apakah langkah ini benar-benar untuk masyarakat atau hanya memenuhi kepentingan pasar?” tanyanya.

Hal serupa disampaikan oleh Janang Firman Palanungkai dari Walhi Kalteng. Ia khawatir sertifikasi ini menjadi alat greenwashing bagi perusahaan bermasalah. “Konflik di lapangan harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum sertifikasi diterbitkan,” katanya.

Kesenjangan Sosial dan Tenaga Kerja

Di sisi lain, kondisi tenaga kerja di perkebunan sawit Seruyan juga menjadi perhatian. Banyak pekerja berstatus buruh harian lepas tanpa perlindungan kontrak atau K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Situasi ini memperparah kesenjangan sosial di kawasan tersebut.

Budi Purwanto, Ketua Kelompok Kerja Sertifikasi RSPO Yurisdiksi di Seruyan, mengakui bahwa pendekatan yurisdiksi bertujuan melibatkan banyak pihak dan memberikan insentif bagi petani kecil. Namun, ia juga menekankan bahwa proses ini masih dalam tahap awal dan membutuhkan regulasi yang lebih jelas.

Pentingnya Penyelesaian Konflik

Mahatma Windrawan Inantha, Wakil Direktur RSPO Indonesia, menegaskan bahwa konflik harus diselesaikan sebelum sertifikasi RSPO diterbitkan. Proses ini harus dilakukan dengan pendekatan damai dan tanpa kekerasan. “Verifikasi hanya akan lolos jika konflik berada dalam tahap penyelesaian yang jelas,” jelasnya.

Dengan luas konsesi sawit, pertambangan, dan kehutanan mencapai 72,28% dari total wilayah Kalimantan Tengah, ruang bagi masyarakat adat dan komunitas lokal semakin terbatas. Sertifikasi RSPO berbasis yurisdiksi diharapkan dapat menjadi solusi, tetapi keberhasilannya sangat tergantung pada keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat, pemerintah, dan perusahaan.

Masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk menjadikan kesejahteraan masyarakat lokal sebagai prioritas utama. “Sertifikasi ini tidak boleh menjadi formalitas, melainkan alat untuk membawa perubahan nyata,” tutup Kartika Sari.

Pos terkait