kaltengpedia.com – Kementerian Pertanian (Kementan) merencanakan program ambisius berupa cetak sawah baru seluas 100 ribu hektare di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada Juni 2025. Program ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memanfaatkan total potensi lahan seluas 500 ribu hektare di wilayah tersebut. Dengan anggaran sebesar Rp 5,5 triliun dari total pagu Rp 29 triliun milik Kementan, proyek ini memunculkan harapan sekaligus tanda tanya.
“Target kami dari data yang tersedia itu 500 ribu hektare. Mudah-mudahan 100 ribu hektare yang sudah siap ini bisa kita buka sampai bulan 6 tahun 2025,” ungkap Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Andi Nur Alam Syah, Rabu (8/1).
Fokus Anggaran dan Pendekatan Modernisasi
Anggaran besar ini akan dialokasikan untuk berbagai kegiatan, termasuk cetak sawah, modernisasi pertanian, optimasi lahan, serta penyediaan brigade pangan. Dalam pelaksanaannya, Kementan juga bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk normalisasi, pembangunan tanggul, perbaikan pintu air, dan penyediaan pompa irigasi.
Kementan telah memulai Survei Investigasi Desain (SID) untuk memastikan kesiapan lahan. Selain itu, dukungan subsidi pupuk, alat mesin pertanian (alsintan), dan kemudahan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) juga direncanakan guna membantu para petani.
“Pelibatan warga lokal harus dioptimalkan agar kesejahteraan merata. Meski ada tantangan dari proyek sebelumnya, kami yakin kali ini akan berhasil,” kata Andi.
Sejarah dan Kritik terhadap Proyek Sawah di Kalteng
Namun, rencana ini memunculkan skeptisisme di kalangan pengamat. Proyek cetak sawah di Kalteng bukan hal baru. Sebelumnya, proyek serupa seperti Program Lahan Gambut (PLG) era Orde Baru gagal memenuhi target produktivitas dan justru menyebabkan kerusakan ekosistem.
Pengamat pertanian, Dedi Kurniawan, menilai ada risiko proyek ini menjadi “sia-sia” jika tidak belajar dari kegagalan masa lalu. “Proyek besar seperti ini rawan pemborosan anggaran jika tidak direncanakan dengan matang. Isu utama di Kalteng adalah kesesuaian lahan, infrastruktur irigasi, dan kemampuan petani lokal untuk beradaptasi dengan teknologi baru,” ujarnya.
Harapan dan Tantangan
Di sisi lain, program ini juga dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, terutama di tengah ancaman perubahan iklim dan ketergantungan pada impor beras. Dukungan terhadap petani lokal menjadi salah satu kunci keberhasilan.
“Kalau pemerintah serius melibatkan masyarakat lokal dan memastikan keberlanjutan ekosistem, potensi besar ini bisa dimanfaatkan dengan baik,” tambah Dedi.
Dengan target pembukaan 100 ribu hektare pada Juni 2025, publik menantikan realisasi dari proyek ambisius ini. Apakah ini akan menjadi jawaban atas tantangan ketahanan pangan atau sekadar mengulang kegagalan masa lalu? Waktu akan membuktikan.