kaltengpedia.com – Setelah hampir empat tahun berlalu, kasus dugaan korupsi pengadaan bibit jambu kristal di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kota Palangka Raya akhirnya menunjukkan perkembangan. Tersangka YU (51), yang kala itu menjabat sebagai pejabat pelaksana kegiatan, telah mengembalikan kerugian negara senilai Rp558 juta lebih.
Namun, di balik pengembalian uang negara tersebut, publik masih menaruh curiga. Banyak kejanggalan yang belum terjawab dan menimbulkan tanda tanya besar: benarkah YU bekerja sendiri? Apakah kerugian negara hanya sebatas angka yang sudah dikembalikan?
Program Pemulihan Ekonomi yang Gagal Total?
Program pengadaan 12.000 bibit jambu kristal ini merupakan bagian dari upaya pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19. Dengan anggaran lebih dari Rp767 juta—termasuk Rp441 juta untuk pembelian bibit—proyek ini seharusnya menyasar masyarakat terdampak pandemi. Namun kenyataannya, banyak bibit gagal tumbuh, buahnya pahit, dan sebagian besar tanaman mati di lokasi.
Ironisnya, menurut hasil pemeriksaan, bibit justru diberikan kepada pihak-pihak yang bukan penerima manfaat sah, melainkan orang-orang yang memiliki kedekatan personal dengan YU. Tidak ada pelatihan, tidak ada pendampingan, tidak ada dana pemupukan. Proyek ini seperti dibuat untuk gagal.
Lalu, ke mana sebenarnya sisanya dari total anggaran Rp767 juta jika kerugian yang diklaim hanya Rp558 juta? Apakah sisa dana tersebut memang digunakan sesuai peruntukannya?
Pengadaan Tanpa Kompetisi, Karantina Tak Dilakukan
Pengadaan dilakukan melalui penunjukan langsung kepada CV. AMT 67 berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Sama tertanggal 16 November 2020. Tidak ada proses tender terbuka. Bibit didatangkan dari Bogor tanpa prosedur karantina yang diwajibkan, yang berpotensi melanggar aturan karantina pertanian.
Kejanggalan ini menimbulkan pertanyaan lebih jauh: siapa pemilik CV. AMT 67? Apakah ada hubungan bisnis atau pribadi antara penyedia dan pejabat pelaksana? Mengapa instansi sekelas DPKP begitu gegabah menunjuk langsung penyedia tanpa melalui mekanisme pengadaan yang transparan?
Tersangka Tunggal, atau Ada yang Diselamatkan?
Sampai berita ini diturunkan, Kejaksaan Negeri Palangka Raya baru menetapkan satu orang tersangka: YU. Padahal, dalam proyek senilai ratusan juta ini, mustahil seorang pejabat pelaksana bekerja sendiri tanpa sepengetahuan atasan, PPTK, bendahara, atau pihak rekanan.
Kepala Kejari Palangka Raya saat itu, Totok Bambang Sapto Dwidjo, bahkan menyebut bahwa seluruh keputusan dan keuntungan proyek mengalir ke YU. Namun, publik patut bertanya: apakah benar hanya YU yang punya kuasa penuh? Siapa yang menyetujui penunjukan CV. AMT 67? Siapa yang mengesahkan SPK dan laporan pertanggungjawaban?
Pengembalian Uang = Pengampunan?
Kepala Seksi Pidana Khusus, Cipi Perdana, menegaskan bahwa pengembalian uang negara tidak menghentikan penyidikan. Namun di sisi lain, pengembalian dilakukan tanpa disertai klarifikasi atau permintaan maaf publik, bahkan pengacaranya memilih bungkam saat dihubungi.
Masyarakat menilai, pengembalian kerugian sering dijadikan alat untuk mengaburkan proses hukum. Bila seseorang mencuri lalu mengembalikan, apakah itu berarti ia tidak harus dihukum? Apalagi dalam kasus ini, kerusakan sudah nyata: proyek gagal, rakyat tak mendapat manfaat, uang negara bocor.
Kasus Ditutup Setengah Hati?
Dengan hanya satu tersangka, proyek gagal, dan belum adanya vonis pengadilan, kasus jambu kristal ini masih menyisakan banyak ruang gelap. Jika penegakan hukum hanya berhenti pada satu nama, publik khawatir, ini bukan penuntasan, melainkan pengkambinghitaman.
Kejaksaan masih punya waktu untuk menjawab semua keraguan. Karena jika tidak, publik akan terus bertanya: siapa sebenarnya yang dilindungi dalam kasus ini?






















