Ketika Media Sosial Bersuara, Media Online Terdiam: Kasus Kehilangan Motor di Pahandut Seberang Bongkar Dugaan Pungli Oknum Polisi

kaltengpedia.com – Media sosial kembali menunjukkan kekuatannya sebagai corong suara masyarakat. Melalui akun Instagram, Facebook dan TikTok, Kaltengpedia berhasil mengungkap kasus dugaan pungutan liar (pungli) oleh oknum anggota Polsek Pahandut, menyusul laporan kehilangan sepeda motor yang dialami seorang warga Pahandut Seberang, Palangka Raya, pada 11 Maret 2025 lalu.

Awalnya, korban yang kehilangan sepeda motor telah melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Pahandut. Namun, hingga berminggu-minggu lamanya, tidak ada kabar perkembangan terkait penyelidikan kasus tersebut. Ketidakjelasan informasi dan minimnya atensi dari media lokal membuat masyarakat bertanya-tanya: di mana peran media online ketika publik membutuhkan kejelasan?

Di tengah kevakuman pemberitaan dari media arus utama, justru media sosial menjadi garda terdepan. Kaltengpedia melalui platform Instagram, Facebook dan TikTok berhasil menjangkau lebih dari 20 juta pengguna dengan sejumlah unggahan investigatif mengenai kasus ini. Respons publik sangat besar hingga menarik perhatian salah satu anggota DPR RI yang secara langsung menghubungi Kaltengpedia melalui pesan langsung (DM) untuk meminta penjelasan lebih lanjut.

Bacaan Lainnya

Namun, pada 3 April 2025, korban justru mendapat kunjungan mendadak dari seorang oknum wartawan dan anggota Polsek Pahandut di kediamannya. Berdasarkan informasi yang dihimpun, oknum wartawan tersebut meminta korban untuk menyampaikan permintaan maaf atas pernyataan-pernyataannya di media sosial. Korban menolak dan kembali menegaskan kronologi peristiwa yang dialaminya, termasuk dugaan pungli oleh oknum aparat.

Pemanggilan dan permintaan maaf ini memunculkan pertanyaan besar di tengah masyarakat: apakah ini bentuk intimidasi terhadap korban? Atau bahkan upaya membalikkan posisi korban menjadi tersangka?

Mendapat sorotan luas dari publik, akhirnya pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah (Polda Kalteng) angkat bicara. Pada 8 April 2025, Kabid Humas Polda Kalteng Kombes Pol Erlan Munaji menyatakan bahwa pihaknya sedang menelusuri kebenaran informasi yang beredar.

“Tim sudah turun dan sedang mendalami informasi yang beredar, termasuk meminta klarifikasi dari pelapor dan anggota yang diduga terlibat,” jelas Erlan.

Langkah konkret kemudian diambil. Pada 10 April 2025, Polda Kalteng resmi mengambil alih penanganan kasus ini. Seorang oknum polisi berinisial R dari Unit Reserse Kriminal (Reskrim) Polsek Pahandut dinonaktifkan dan tengah menjalani proses pemeriksaan oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Kalteng.

“Yang bersangkutan sudah diperiksa oleh Paminal Polresta Palangka Raya yang di-back up Bidang Propam Polda Kalteng dan sudah dinonaktifkan,” ungkap Kombes Erlan.

Meski langkah hukum terhadap oknum telah dilakukan, hingga saat ini sepeda motor korban belum juga ditemukan. Publik kini menanti, apakah korban akan mendapatkan haknya kembali? Apakah kasus ini hanya berhenti pada pencopotan oknum, atau akan menjadi momentum reformasi dalam penanganan laporan masyarakat?

Fakta lain yang menjadi sorotan adalah sikap sebagian besar media online lokal yang justru terkesan pasif dalam menyikapi kasus ini. Di saat media sosial menjadi pelopor pengungkapan fakta dan penyambung suara korban, media online justru tampak menahan diri.

CEO Kaltengpedia, Ahmad Hady Surya, yang juga dikenal sebagai programmer dan analis digital, menilai bahwa kekuatan media sosial hari ini telah menjelma menjadi alat advokasi publik yang efektif, bahkan melebihi peran media online konvensional yang terkesan berhati-hati.

“Ketika informasi tidak diberitakan oleh media formal, masyarakat mencari validasi di media sosial. Insight kami menunjukkan bahwa masyarakat Kalteng kini jauh lebih aktif dalam mengkonsumsi konten berbasis keadilan dan empati. Ini momentum penting agar media online tidak kehilangan relevansi,” ujarnya.

hady menambahkan bahwa algoritma digital hari ini tidak hanya sekadar menampilkan konten, tapi juga memperkuat solidaritas publik melalui reaksi, komentar, dan jangkauan yang masif. Sayangnya, kata dia, tidak semua media online mampu membaca gelombang itu secara responsif dan progresif.

“Kami melihat keterlibatan publik meningkat saat media sosial menyuarakan isu ini. Tapi di sisi lain, minimnya respon media online bisa menciptakan kesan adanya pembungkaman atau ketakutan, dan itu berbahaya untuk demokrasi lokal,” jelasnya.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi dunia jurnalistik lokal. Bahwa ketika media mainstream bungkam, publik akan mencari ruang baru untuk bersuara. Media sosial telah menunjukkan bahwa keterbukaan informasi tidak lagi bisa dibatasi oleh tembok birokrasi atau tekanan kuasa.

Pos terkait