Pemerintahan Jokowi Buruk dalam Hal Kelautan?

Kapal pengawasan Bakamla saat menjaga kapal ikan asing yang tertangkap mencuri ikan di Natuna. Istimewa

kaltengpedia.com – Empat tahun sudah Joko Widodo dan Ma’aruf Amin memimpin Republik Indonesia sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tersisa waktu satu tahun dari sekarang bagi kedua orang tersebut untuk bisa menuntaskan kepemimpinannya dalam satu periode.

Tanda keduanya masuk waktu empat tahun, adalah 20 Oktober 2023. Selama memimpin empat tahun, ada banyak catatan yang sudah dibuat Joko Widodo bersama wakilnya di kabinet. Utamanya, adalah Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI).

Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia secara khusus melakukan analisis terhadap kepemimpinan Joko Widodo, khususnya selama empat tahun terakhir. Analisis tersebut, mencakup KKI yang diterbitkan melalui Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2022.

Manajer Hak Asasi Manusia (HAM) DFW Indonesia Miftachul Choir mengungkapkan, selama empat tahun memimpin Indonesia, Joko Widodo sering membawa narasi besar dan khusus saat berada di ruang publik. Salah satunya, adalah Poros Maritim Dunia.

Identitas tersebut selalu dikampanyekan sebagai identitas Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Joko Widodo kemudian menurunkan identitas tersebut lebih teknis, salah satunya melalui KKI.

Ada tujuh isu strategis yang disebut dalam Perpres 34/2022 tentang Rencana Aksi KKI. Rinciannya, adalah: 1) Pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; 2) Pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan laut; dan 3) Tata kelola dan kelembagaan laut.

Kemudian, 4) Ekonomi infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan; 5) Pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut; 6) Budaya bahari; serta 7) diplomasi maritim. Ketujuh isu tersebut menjadi panduan untuk sektor maritim dan kelautan dalam menjalankan pembangunan nasional.

Namun, dia menyebut kalau KKI tak lebih hanya menjadi alat atau simbol untuk menjual sumber daya laut untuk kepentingan korporasi dan industri skala besar. KKI menjadi pelicin jalan untuk menjalankan sejumlah kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat pesisir.

Ocean for sale,” demikian ungkapan dia untuk menyebut upaya eksploitasi sektor maritim dan kelautan kepada para pemilik modal dengan jumlah besar.

Miftachul Choir yang berbicara melalui siaran dalam jaringan (daring) pada Rabu (31/10/2023), menjelaskan kalau Pemerintah terbukti sudah mendukung secara penuh upaya perampasan laut dari nelayan dan masyarakat pesisir.

Padahal, kedua aktor utama di pesisir tersebut selama ini sangat menggantungkan kehidupan mereka kepada laut dan segala sumber daya alamnya. Mereka dirampas melalui kebijakan keterbukaan pasar, zonasi, dan rencana penangkapan ikan berbasis kuota.

Bukti nyata bahwa aksi perampasan laut sudah terjadi selama kepemimpinan Joko Widodo periode kedua, adalah tingkat pemanfaatan ikan sudah mencapai over eksploitasi, dan masyarakat pesisir harus menerima fakta tergusur di wilayah kekuasaan mereka karena pembangunan.

Kemudian, nelayan tradisional juga dipaksa harus bisa hidup secara berdampingan dengan industri raksasa yang mengoperasikan kapal-kapal perikanan bertonase besar, serta tidak adanya keterlibatan secara substansial dari masyarakat pesisir dan nelayan tradisional untuk kebijakan penting.

“Perampasan laut juga tidak dapat dilepaskan dari kemunduran demokrasi Indonesia,” tegas dia.

Tanpa ragu, dia mengatakan kalau kebijakan di sektor daratan yang sudah berpihak kepada pelaku usaha dan mengorbankan kepentingan ekologi serta HAM, juga kini terjadi di sektor maritim dan kelautan melalui KKI.

Tak hanya itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UUCK juga ikut berperan dalam proses terjadinya perampasan ruang laut melalui kemudahan berbisnis dan pelibatan publik yang minim.

Lebih detail, DFW Indonesia membuat catatan lengkap tentang indikasi perampasan laut dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’aruf Amin. Berikut rinciannya:

Pertama, privatisasi sumber daya perikanan. Catatan ini menyebut kalau pemerintahan Joko Widodo melawan arah dari kebijakan sebelumnya yang dinilai sudah berhasil. Kebijakan tersebut, tidak lain adalah berbagai pelarangan yang bertujuan untuk menjaga laut dan ekosistemnya tetap sehat.

Beberapa kebijakan berupa pelarangan itu sudah dijalankan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat Susi Pudjiastuti mulai menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Termasuk, larangan penggunaan kapal perikanan eks-asing dengan ukuran lebih dari 150 gros ton (GT) untuk menangkap ikan di Indonesia.

Kemudian, dilakukan juga pelarangan menggunakan alat penangkapan ikan (API) tidak ramah lingkungan seperti cantrang, dan juga pelarangan alih muatan (transhipment) kapal di tengah laut atau tanpa berhenti di pelabuhan terdekat dari pusat penangkapan ikan.

Kebijakan berikutnya, adalah ditetapkannya industri perikanan ke dalam daftar negatif investasi (DNI) oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai bentuk peringatan bahwa industri tersebut sudah sangat jauh dari koridor investasi yang sehat dan benar.

Lalu, pemberantasan seluruh kegiatan penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF) dilakukan melalui kebijakan penenggelaman kapal dan pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan dan Penangkapan Ikan secara Ilegal atau Satgas 115.

Semua kebijakan tersebut dinilai sudah memberi kontribusi positif pada pemulihan laut di Indonesia, karena saat itu stok ikan mengalami peningkatan, dan kegiatan IUUF mengalami penurunan. Namun, dampak negatifnya, produksi perikanan Indonesia harus mengalami penurunan.

Akan tetapi, walau sudah berkontribusi positif, pemerintahan Jokowi-Ma’aruf Amin justru memilih untuk tidak melanjutkan dan malah mencabut semuanya melalui penerbitan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58 Tahun 2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap.

Kebijakan yang dibatalkan, salah satunya adalah Peraturan Menteri KP 26/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kemudian, pelarangan aktivitas alih muatan kapal di tengah laut juga dibatalkan. Kebijakan tersebut sebelumnya ditegaskan dilarang melalui Permen KP 26/2014 yang merupakan regulasi Perubahan Kedua atas Permen KP 30/ 2012.

Kebijakan lain yang dicabut, adalah penanaman modal asing (PMA) pada sektor perikanan tangkap yang kembali diperbolehkan setelah UUCK disahkan. Setelah itu, kapal-kapal perikanan berukuran di atas 30 GT langsung bertambah banyak dan tingkat eksploitasi laut akhirnya meningkat.

“Privatisasi laut dilanjutkan dengan (kebijakan) Penangkapan Ikan Terukur yang memberikan industri skala besar empat zona eksklusif untuk menangkap ikan,” ungkap Miftachul Choir.

Menurut dia, dengan diberlakukan kuota tangkapan ikan, ada potensi nelayan lokal akan mendapat batasan untuk menangkap ikan. Dia menilai kalau penangkapan ikan memang harus dibatasi, tetapi seharusnya itu diberlakukan untuk industri skala besar dan korporasi, bukan nelayan lokal.

“Selain itu, minimnya partisipasi publik kian menunjukkan tidak ada keberpihakan kepada nelayan lokal dalam perumusan PIT,” tambah dia.

Ruang Laut Dirampas

Catatan kedua yang dibuat DFW Indonesia, adalah perampasan ruang laut yang dilakukan Joko Widodo di masa periode kedua kepemimpinannya. Aksi tersebut dilakukan dengan cara privatisasi melalui UUCK, yaitu memberi kemudahan perizinan lokasi bagi usaha dan non-usaha melalui Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

Manajer Penelitian DFW Indonesia Felicia Nugroho memaparkan, kebijakan privatisasi kemudian ditambah dengan kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) yang dikenakan kepada mereka yang sudah memiliki izin pemanfaatan menetap di ruang laut tersebut.

Kebijakan tersebut melengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut yang membagi laut menjadi Rencana Zona Kawasan Nasional Strategis, Kawasan Nasional Strategis Tertentu, dan Kawasan Pemanfaatan Umum di tingkat nasional.

Pada tingkat provinsi, UU No.1/2014 memandatkan Pemerintah Daerah untuk merumuskan Perencanaan Zonasi Wilayah Pulau-Pulau Terkecil (RPZWP3K). UU tersebut tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Menurut dia, seharusnya zonasi bisa menjamin ruang bagi masyarakat pesisir dan nelayan, bukan justru. Kenyataannya, perumusan zonasi memang sudah kehilangan syarat terpentingnya, yaitu pelibatan masyarakat-masyarakat terdampak.

Justru, pihak yang dilibatkan dalam kebijakan yang dibuat oleh Negara, tidak lain adalah korporasi. Itu kenapa, perizinan zonasi pun menjamin kebutuhan pariwisata, industri, dan pertambangan untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir.

“Sekaligus, mengusir nelayan dan masyarakat pesisir yang mencoba merebut kembali tanah mereka,” ungkap dia.

Bukti lain dari perampasan ruang laut pada masa periode kedua kepemimpinan Joko Widodo, adalah zonasi melalui pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan Destinasi Wisata Premium yang sarat akan pelanggaran HAM.

Contoh nyata dari pembangunan destinasi wisata premium itu ada di Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pernyataan tentang pelanggaran HAM tersebut dibuat Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melihat ada penggusuran paksa dan pengerahan aparat.

Catatan ketiga, adalah hilirisasi yang tertahan karena pelanggaran hak kerja. Catatan ini muncul, karena ada KKI yang berambisi meningkatkan hilirisasi industri perikanan. Namun ambisi ini berlawanan, karena pasar-pasar Eropa dan Amerika Utara melacak indikasi kerja paksa dan perdagangan orang dalam rantai suplai perikanan tangkap Indonesia.

Tak heran, jika kemudian Indonesia selalu kalah dengan negara tetangga seperti Thailand dalam ekspor perikanan, karena negara tersebut sudah memiliki kepatuhan terhadap HAM perikanan. Sementara, meski Indonesia sudah memiliki sertifikasi HAM, serangkaian pelanggaran HAM di atas kapal perikanan terus terjadi.

Berdasarkan data National Fishers Center (NFC) dari 2019-2023, terdapat 112 kasus dan 316 korban pelanggaran hak pekerja seperti kerja paksa, intimidasi, dan kekerasan. Fenomena tersebut terlihat sama saat DFW Indonesia melakukan penelusuran di sejumlah pelabuhan perikanan skala besar, menengah, dan kecil yang ada di Indonesia.

Selain Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman di DKI Jakarta, penelusuran juga dilakukan di pelabuhan umum Benoa di Kota Denpasar (Bali), PPS Bitung di Kota Bitung (Sulawesi Utara), dan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Dobo di Kabupaten Kepulauan Aru (Maluku).

“Jika Indonesia tidak dapat menyelesaikan HAM di laut, ambisi hilirisasi produk perikanan tidak akan tercapai,” tegas Felicia Nugroho.

Selain tiga catatan di atas, ada tiga catatan lain yang dibuat DFW Indonesia selama empat tahun kepemimpinan Joko Widodo pada periode kedua. Catatan keempat, adalah laut yang masih belum terhubung.

Sesuai janji, Joko Widodo akan menghubungkan Nusantara melalui tol laut dan menekan disparitas harga. Tetapi, upaya tersebut belum terwujud penuh, karena disparitas harga tidak juga menghilang diakibatkan masih adanya praktik monopoli dan mafia di rantai suplai komoditas yang panjang dan tidak dapat dijangkau oleh tol laut.

Kemudian, masih ada ketimpangan muatan balik dibandingkan muatan berangkat dari kawasan industri di Jawa, pelayaran tol laut yang mengalami keterlambatan dan tidak terjadwal, waktu pelayaran dari kawasan Timur ke Barat yang kurang efisien dibanding layanan serupa milik swasta.

Catatan kelima, masih adanya dualisme pengawasan di laut. Catatan ini akan memberikan keuntungan kepada korporasi dan industri perikanan skala besar, karena mereka leluasa dan mendapatkan kemudahan dalam berusaha.

Ada pun, dualisme tersebut muncul antara Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) atau Indonesian Sea and Coast Guard (ISCG) di bawah kendali Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan RI, dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI.

“Akibatnya, tidak ada kejelasan mengenai wewenang kedua lembaga tersebut. Aktivitas IUUF dan kriminalitas laut (pun) semakin mudah terjadi,” jelas dia.

Catatan terakhir atau kelima, adalah fakta bahwa laut itu milik rakyat. Catatan ini menegaskan bahwa laut adalah ruang kolektif yang dapat diakses oleh siapa pun, dengan masyarakat pesisir, dan nelayan tradisional adalah dua entitas yang berhak untuk menentukan bagaimana laut dikelola.

Menurut Felicia Nugroho, jika masih ada pembatasan terhadap ruang laut, maka yang seharusnya dibatasi adalah korporasi dan nelayan industri. Juga, masyarakat pesisir dan nelayan lokal berhak menentukan bagaimana batasan-batasan itu ditetapkan dan diberlakukan.

“Seharusnya pemerintah memiliki peran penting untuk memastikan tidak ada pihak eksternal yang mengintervensi,” sambung dia.

Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menyimpulkan, terjadinya perampasan ruang laut, adalah saat publik tidak dilibatkan dalam membuat kebijakan, tidak ada keterbukaan dan akuntabilitas dari pembuat kebijakan.

Itu berarti, KKI bisa berdampak positif jika berpihak kepada mereka yang bergantung pada sumber daya laut, seperti masyarakat pesisir dan nelayan. Selain itu, keterlibatan publik yang substansial juga bisa menentukan arah kebijakan maritim berpihak.

Akan tetapi, hingga empat tahun memimpin, Joko Widodo bersikap sebaliknya dan membuka ruang privatisasi seluas-luasnya melalui perubahan kebijakan, zonasi, dan kuota. Juga, mengorbankan kesehatan laut dan perlindungan HAM, serta membiarkan carut marut dalam pengawasan laut.

Dengan kata lain, bisa saja Pemerintah mengeklaim kebijakan yang diterbitkan bertujuan untuk kesejahteraan. Walau faktanya, masyarakat pesisir dan nelayan menjadi korban karena tergusur, terpinggirkan, dan dipaksa untuk bertanggungjawab atas kerusakan ekologi laut.

“Perampasan laut dapat berlanjut jika orientasi terhadap pembangunan terus dikedepankan. Juli lalu, pemerintah baru saja mengeluarkan Peta Jalan Ekonomi Biru yang sarat akan kepentingan pertumbuhan ekonomi dibandingkan pemulihan,” ungkap dia.

Menganalisis semua yang sudah terjadi, maka masyarakat didorong harus bisa memperhatikan secara serius kebijakan maritim yang dibawakan oleh kandidat eksekutif dan legislatif menjelang Pemilihan Umum 2024. Itu berlaku di tingkat nasional mau pun daerah.

Pos terkait