kaltengpedia.com – Kalimantan Tengah (Kalteng) menghadapi krisis ekologis yang semakin memburuk akibat aktivitas penebangan hutan dan eksploitasi sumber daya alam. Berdasarkan pantauan Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah (WALHI Kalteng) dan Save Our Borneo (SOB), bencana banjir di wilayah ini kian meluas dan intensitasnya meningkat.
Data yang dihimpun SOB dari Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dan Pusdatinkom Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dari Januari hingga Oktober 2024, sebanyak 9.089 rumah terendam dan 60.416 jiwa terdampak. Menurut Direktur WALHI Kalteng, Bayu Herinata, penyebab utama memburuknya situasi ini adalah menurunnya daya dukung lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan-Kapuas.
“Aktivitas deforestasi besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan di sektor kehutanan dan pertambangan telah merusak hutan dan sungai di kawasan ini,” ujar Bayu. Pembukaan hutan untuk perkebunan dan penambangan secara masif mengurangi kemampuan alam dalam menyerap air, memperburuk erosi, serta mengganggu keseimbangan ekosistem.
Bencana Meluas Sejak 2020
Berdasarkan data rekapitulasi bencana ekologis WALHI Kalteng, wilayah terdampak banjir terus meluas sejak 2020 hingga 2023. Kabupaten seperti Katingan, Kotawaringin Timur, Seruyan, Barito Utara, Barito Selatan, Pulang Pisau, Kapuas, dan Kota Palangka Raya telah menjadi daerah langganan banjir. Bahkan, daerah-daerah baru seperti Murung Raya, Barito Timur, Gunung Mas, dan Lamandau kini juga mulai sering mengalami banjir.
“Desa-desa di bentang alam DAS Kahayan-Kapuas yang mengalami banjir berulang setiap tahun adalah bukti nyata bahwa kondisi lingkungan semakin kritis. Pemulihan segera diperlukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut,” tegas Bayu.
Kerusakan Hutan DAS Kahayan-Kapuas
Direktur Save Our Borneo (SOB), Muhammad Habibi, menyoroti kerusakan parah di kawasan DAS Kahayan-Kapuas. “Di kawasan ini terdapat sedikitnya enam perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Berdasarkan data yang dihimpun SOB dari Nusantara Atlas, pada tahun 2024, total deforestasi akibat aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut mencapai 3.367 hektare hutan,” ungkap Habibi.
Habibi menambahkan bahwa kehilangan hutan yang signifikan ini memperburuk kondisi lingkungan. “Kawasan ini terletak di hulu anak-anak sungai, sehingga deforestasi di konsesi perusahaan berdampak langsung pada hilir sungai. Akibatnya, banjir di daerah-daerah hilir semakin parah,” jelasnya.
Desakan untuk Evaluasi Pengelolaan SDA
Dalam menanggapi situasi ini, WALHI Kalteng dan SOB mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di wilayah ini. Terutama, yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di sektor ekstraksi sumber daya alam.
“Pemerintah perlu mengevaluasi kembali aktivitas perusahaan-perusahaan di sektor kehutanan dan pertambangan. Tanpa langkah tegas, kerusakan lingkungan akan terus berlanjut dan memperburuk bencana ekologis yang merugikan masyarakat,” tutur Habibi.
Kedua organisasi ini juga mengingatkan bahwa tanpa upaya mitigasi dan pemulihan yang konkret, dampak bencana akan semakin besar, baik bagi lingkungan maupun masyarakat. Banjir yang semakin parah akan terus mengancam jika tidak ada langkah nyata dari pemerintah.
Krisis ekologis ini memerlukan penanganan serius dan sistematis, bukan hanya sebagai respons jangka pendek, tetapi sebagai bagian dari strategi mitigasi bencana yang lebih luas. WALHI Kalteng dan SOB berharap pemerintah dapat mengambil tindakan nyata demi menyelamatkan lingkungan dan melindungi masyarakat dari ancaman bencana yang semakin buruk.