Pilkada Kalteng 2024: Sekolah dan Kampus Berisiko Jadi ‘Ajang Kampanye’, Mengapa Dianggap Berbahaya?

Getty Images

kaltengpedia.com – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Kalimantan Tengah, kekhawatiran terkait praktik kampanye di lembaga pendidikan seperti sekolah dan kampus mulai mencuat. Sekolah dan kampus dianggap berisiko menjadi ‘ajang kampanye’ oleh calon kepala daerah, meskipun secara tegas diatur bahwa lembaga pendidikan harus bebas dari pengaruh politik. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa penggunaan institusi pendidikan dalam kampanye dianggap berbahaya?

Menurut regulasi yang berlaku, termasuk Undang-Undang Pemilu dan berbagai peraturan KPU, kampanye politik dilarang dilakukan di tempat-tempat yang seharusnya netral, termasuk sekolah, universitas, dan tempat ibadah. Hal ini bertujuan untuk menjaga independensi dan netralitas institusi pendidikan dari pengaruh politik yang bisa mengganggu proses pembelajaran dan kebebasan akademik.

Sekolah dan kampus, sebagai tempat pembelajaran, memiliki fungsi yang sangat vital dalam membentuk karakter dan pemikiran kritis siswa dan mahasiswa. Keterlibatan politik dalam ruang ini bisa menciptakan ketidakpastian dan merusak independensi institusi pendidikan.

Bacaan Lainnya

Penggunaan sekolah dan kampus sebagai tempat kampanye atau ajang politik dianggap berbahaya karena beberapa alasan, di antaranya:

  • Memengaruhi Independensi dan Netralitas: Lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang netral di mana siswa dan mahasiswa bisa bebas belajar tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu. Jika kampanye masuk ke institusi pendidikan, dikhawatirkan akan terjadi pembelahan politik di kalangan siswa, mahasiswa, dan tenaga pengajar.
  • Eksploitasi Pengaruh di Kalangan Pemilih Pemula: Siswa dan mahasiswa adalah kelompok pemilih pemula yang berpotensi besar dalam Pilkada 2024. Jika kampanye dilakukan di lingkungan pendidikan, dikhawatirkan para calon kepala daerah akan memanfaatkan posisi mereka untuk mempengaruhi pemilih pemula secara tidak adil, mengaburkan objektivitas mereka dalam memilih.
  • Gangguan Terhadap Proses Pembelajaran: Kampanye di sekolah atau kampus dapat mengganggu fokus siswa dan mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Alih-alih fokus pada pendidikan, mereka bisa terpecah perhatian oleh pesan-pesan politik yang mungkin tidak relevan dengan pembelajaran yang sedang berlangsung.
  • Polarisasi dan Konflik di Lingkungan Pendidikan: Ketika politik masuk ke sekolah atau kampus, potensi polarisasi di kalangan siswa, mahasiswa, dan tenaga pengajar meningkat. Mereka yang memiliki pandangan politik berbeda bisa terlibat dalam konflik yang tidak sehat, memecah belah komunitas pendidikan.

Selain memengaruhi proses pendidikan, kampanye di sekolah dan kampus juga berisiko menghambat perkembangan berpikir kritis di kalangan siswa dan mahasiswa. Lembaga pendidikan seharusnya mendorong pemikiran kritis dan kebebasan berekspresi, bukan menjadi arena politik praktis.

Pemanfaatan sekolah dan kampus sebagai tempat kampanye juga dapat merusak integritas proses demokrasi. Pemilih muda yang seharusnya diberi ruang untuk mempertimbangkan pilihan politik secara bebas dan mandiri bisa saja terpengaruh oleh tekanan atau dorongan politik dari figur-figur otoritatif di institusi tersebut.

Di beberapa kasus, pejabat publik atau calon kepala daerah yang memiliki akses ke institusi pendidikan, terutama yang menjabat di pemerintahan, dapat memanfaatkan posisi dan wewenangnya untuk memperkenalkan agenda politik mereka. Ini tidak hanya melanggar netralitas, tetapi juga merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang dapat menciptakan ketidakadilan bagi calon-calon lain yang tidak memiliki akses serupa.

Untuk mencegah kampanye di lembaga pendidikan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas politik di lingkungan sekolah dan kampus. Setiap indikasi penggunaan institusi pendidikan untuk kepentingan kampanye harus segera ditindak. Sanksi tegas harus diberikan kepada mereka yang terbukti melanggar aturan ini.

Selain itu, pihak sekolah dan universitas juga harus memperketat kebijakan internal mereka terkait keterlibatan politik. Institusi pendidikan perlu menetapkan regulasi tegas yang melarang kampanye politik di lingkungan mereka, serta mendidik siswa dan mahasiswa mengenai pentingnya menjaga netralitas dan independensi lembaga pendidikan.

Calon kepala daerah diharapkan untuk tetap mematuhi aturan dan menjaga integritas proses Pilkada dengan tidak memanfaatkan sekolah dan kampus sebagai tempat kampanye. Kampanye yang sehat dan adil seharusnya dilakukan di tempat yang sesuai, seperti ruang publik, tanpa merusak netralitas lembaga pendidikan.

Pemilih muda harus didorong untuk memilih berdasarkan pertimbangan rasional dan independen, bukan karena pengaruh yang tidak sehat dari kampanye di ruang pendidikan. Pilkada yang bersih dan berintegritas akan membantu mewujudkan demokrasi yang lebih matang dan adil di Kalimantan Tengah.

Menggunakan sekolah dan kampus sebagai ajang kampanye politik adalah tindakan yang berisiko dan dilarang oleh undang-undang. Selain berpotensi merusak independensi dan netralitas lembaga pendidikan, hal ini juga bisa mempengaruhi proses pembelajaran dan menciptakan polarisasi di kalangan pemilih muda. Demi menjaga kualitas demokrasi dan pendidikan, diperlukan pengawasan ketat dan sanksi tegas bagi mereka yang melanggar aturan ini.

Pos terkait