kaltengpedia.com – Dinamika Karang Taruna Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) kembali menjadi sorotan publik. Setelah sekilas terlihat mencapai solusi dengan dilantiknya Chandra Ardinata sebagai Ketua Karang Taruna Kalteng pada 31 Maret 2023 lalu, ternyata dualisme kepengurusan organisasi ini masih berlanjut hingga saat ini.
Pelantikan Chandra yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah Kalteng, H. Nuryakin, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kalteng Nomor 188.44/148/2023, seolah memberikan harapan akan berakhirnya konflik. Namun, kenyataan berbicara lain.
Perbedaan semakin mencuat ketika kubu Edy Rustian menggelar Katinting Race 2023 di bawah Jembatan Kahayan, sementara kubu Chandra Ardinata mendukung turnamen sepak bola di Sampit. Kedua kegiatan tersebut mencerminkan kuatnya upaya masing-masing kubu untuk menunjukkan eksistensi.
Edy Rustian mengklaim bahwa kepemimpinannya sah di mata pengurus pusat, didasarkan pada Surat Keputusan (SK) yang ia miliki. Sementara itu, kubu Chandra Ardinata mengandalkan legitimasi dari SK Gubernur Kalteng. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat: Apakah dualisme ini murni konflik internal organisasi atau ada kepentingan lain di baliknya?
Melihat dinamika yang terjadi, beberapa hal dapat dianalisis:
- Persoalan Legitimasi Hukum
Dualisme ini menunjukkan adanya tumpang tindih dalam mekanisme pengesahan kepengurusan. SK Gubernur versus SK Pengurus Pusat menjadi dasar klaim masing-masing pihak. Ketidaksinkronan ini memperlihatkan lemahnya koordinasi antar tingkatan organisasi. - Kepentingan Politik atau Pribadi
Tidak dapat dipungkiri, organisasi seperti Karang Taruna sering menjadi sarana bagi pihak-pihak tertentu untuk memperluas pengaruh, baik politik maupun personal. Dengan popularitas dan jaringan yang luas, Karang Taruna kerap menjadi magnet bagi aktor-aktor dengan agenda tertentu. - Ancaman terhadap Soliditas Organisasi
Dualisme kepemimpinan dapat mengganggu fungsi utama organisasi, yaitu pemberdayaan masyarakat, khususnya generasi muda. Konflik semacam ini juga berpotensi memecah belah kader di tingkat kabupaten/kota hingga desa.
Konflik semacam ini bisa membawa dampak negatif, antara lain:
- Hilangnya Kepercayaan Publik
Masyarakat yang semula mendukung kegiatan Karang Taruna dapat kehilangan kepercayaan karena organisasi lebih sibuk mengurus konflik internal. - Efisiensi Program yang Menurun
Program-program pemberdayaan masyarakat berpotensi terhambat akibat dualisme kepemimpinan. - Terpecahnya Solidaritas Internal
Kader di tingkat bawah dapat terpecah dalam mendukung salah satu kubu, sehingga melemahkan kekompakan organisasi.
Seharusnya, Karang Taruna sebagai organisasi sosial kemasyarakatan mampu menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kerja kolektif. Namun, tanpa adanya mediasi dari pihak yang lebih tinggi, konflik ini sulit untuk diselesaikan. Pemerintah daerah dan pusat perlu mengambil peran untuk memfasilitasi rekonsiliasi kedua kubu.
Jika tidak segera diselesaikan, konflik ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi organisasi kepemudaan lainnya. Karang Taruna Kalteng harus mampu menunjukkan bahwa mereka adalah organisasi yang solid dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar wadah kepentingan segelintir pihak.
Dualisme Karang Taruna Kalteng mencerminkan persoalan mendasar dalam pengelolaan organisasi. Apakah konflik ini didasari kepentingan pribadi, politik, atau kesalahpahaman administratif, yang jelas, solusi harus segera ditemukan demi menjaga kredibilitas organisasi dan kebermanfaatannya bagi masyarakat. Masyarakat pun berharap, Karang Taruna kembali menjadi satu arah, bukan dua kepentingan.