kaltengpedia.com – Peran buzzer dalam politik Indonesia telah mengalami transformasi signifikan seiring dengan perkembangan teknologi dan media sosial. Awalnya, buzzer digunakan untuk mempromosikan produk komersial, namun kini mereka menjadi aktor penting dalam kampanye politik, terutama melalui platform seperti Twitter, Facebook, Tiktok dan Instagram.
Buzzer politik berfungsi untuk membentuk opini publik dengan menyebarkan pesan-pesan tertentu yang mendukung kandidat atau partai politik. Mereka menggunakan berbagai strategi, termasuk kampanye positif untuk meningkatkan citra kandidat yang didukung, serta kampanye negatif atau bahkan “black campaign” untuk menjatuhkan lawan politik. Aktivitas ini sering kali melibatkan penyebaran informasi yang belum tentu akurat, yang dapat memicu polarisasi di masyarakat.
Di Kalimantan Tengah, fenomena buzzer politik menjadi perhatian khusus, terutama menjelang pemilihan kepala daerah. Penggunaan media sosial sebagai alat kampanye telah menyebabkan meningkatnya tensi politik di dunia maya, yang berpotensi merembet ke konflik di dunia nyata. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Tengah mengidentifikasi potensi kecurangan yang sering terjadi, seperti manipulasi informasi dan mobilisasi pemilih melalui distribusi formulir C6. Selain itu, kampanye yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) menjadi ancaman serius yang dapat memecah belah masyarakat.
Meskipun peran buzzer dapat membantu dalam menyebarkan informasi politik, keberadaan mereka juga menimbulkan tantangan, terutama terkait penyebaran hoaks dan informasi menyesatkan. Saat ini, belum ada regulasi khusus yang mengatur aktivitas buzzer politik di Indonesia. Sebagian besar buzzer menggunakan akun anonim, sehingga sulit bagi aparat penegak hukum untuk melacak dan mengambil tindakan hukum terhadap mereka. Namun, upaya penindakan dapat dilakukan melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang penyebaran kampanye negatif.
Kontribusi buzzer dalam politik Indonesia melalui media sosial memiliki dua sisi: di satu sisi, mereka dapat menjadi alat efektif untuk menyebarkan informasi dan membentuk opini publik; di sisi lain, tanpa regulasi dan pengawasan yang ketat, aktivitas mereka dapat menimbulkan disinformasi dan konflik di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kerangka hukum yang jelas serta literasi digital yang baik di kalangan masyarakat untuk meminimalisir dampak negatif dari aktivitas buzzer politik.