12 Perusahaan Diduga Langgar Hukum di Kalteng: KLHK dan Kemenhut Diminta Tegas

kaltengpedia.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah resmi melaporkan 12 korporasi yang diduga melakukan pelanggaran tata kelola, lingkungan hidup, hingga sosial ekonomi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kehutanan di Jakarta pada akhir Mei 2025.

Dua belas perusahaan tersebut terdiri dari 5 korporasi sawit, 5 Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 2 perusahaan tambang batubara. Dugaan pelanggaran yang terjadi beragam, mulai dari pembukaan lahan di kawasan gambut lindung, pencemaran limbah, hingga praktik perizinan yang diduga maladministratif.

“Masing-masing sektor punya pelanggaran khas. Di sektor sawit misalnya, ditemukan pembukaan lahan di gambut lindung dan budidaya yang melanggar PP 57/2016. Sementara sektor tambang diduga cemari sungai dan manipulasi pengelolaan limbah,” kata Janang Firman Palanungkai, Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng, dalam konferensi pers di Jakarta.

Bacaan Lainnya

5 Perusahaan Sawit dan Pembukaan Lahan di Gambut Lindung

Lima perusahaan sawit yang dilaporkan karena melakukan pembukaan lahan di ekosistem gambut lindung adalah:

  • PT Globalindo Agung Lestari (GAL)

  • PT Mulia Agro Permai (MAP)

  • PT Maju Aneka Sawit (MAS)

  • PT Mitra Karya Agroindo (MKA)

  • PT Gawi Bahandep Sawit Mekar (GBSM)

Kelima korporasi ini dapat dikenai sanksi administratif sesuai Pasal 30 dan Pasal 41 PP 71/2014, termasuk paksaan pemerintah hingga pembekuan atau pencabutan izin lingkungan.

2 Tambang Batubara Diduga Cemari Lingkungan

Sementara itu, dua perusahaan tambang yang beroperasi di Barito Timur — PT Tibawan Energi Indonesia (TEI) dan PT Multi Perkasa Lestari (MPL) — dilaporkan karena diduga mencemari lingkungan akibat pengelolaan limbah yang tak sesuai prosedur.

“Mereka melanggar UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan berpotensi kena sanksi administratif hingga pidana jika terbukti,” jelas Janang.

5 Perusahaan HTI Disorot karena Maladministrasi

Untuk sektor kehutanan, lima perusahaan HTI yang dilaporkan karena diduga melakukan mal administrasi perizinan antara lain:

  • PT Industrial Forest Plantation (IFP)

  • PT Kalteng Green Resources (KGR)

  • PT Baratama Putra Perkasa (BPP)

  • PT Borneo Ikhsan Sejahtera (BIS)

  • PT Siemon Agro (SA)

Selain dugaan pelanggaran administratif, perusahaan HTI juga dilaporkan atas pembiaran kebakaran hutan, aktivitas di kawasan gambut, hingga pola kemitraan yang merugikan masyarakat dan dugaan penyelewengan dana CSR.

Korporasi Diduga Biang Karhutla

Lima korporasi juga disebut sebagai pemicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di area konsesi mereka: GAL, GBSM, KGR, BIS, dan SA.

“Jika terbukti membiarkan kebakaran, sanksi bisa sangat berat. Mulai dari pembekuan perizinan hingga pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp7,5 miliar,” tegas Janang.

Respons Pemerintah dan Perusahaan

Dari 12 perusahaan yang disebut, hanya dua yang memberikan respons resmi kepada Mongabay: PT Maju Aneka Sawit (MAS) dan PT Gawi Bahandep Sawit Mekar (GBSM). Keduanya menyebut telah menjalankan semua ketentuan hukum dan perizinan yang berlaku serta komitmen mencegah karhutla.

Sementara itu, sejumlah perusahaan lainnya belum memberikan tanggapan atau sulit dihubungi karena tak memiliki alamat kantor atau kontak resmi yang dapat dijangkau publik.

Kementerian Kehutanan melalui Kasubdit Penanganan Pengaduan Kehutanan, Hendra Nur Rofiq, membenarkan telah menerima laporan Walhi Kalteng dan menyatakan lima dari perusahaan tersebut ditangani oleh Satgas Garuda Kejaksaan Agung.

Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Direktur Pengaduan dan Pengawasan, Ardyanto Nugroho, menyebut pihaknya tengah memverifikasi dokumen dan berkomitmen untuk menindak tegas pelanggaran lingkungan.

Tuntutan Walhi: Hukum Tegas untuk Efek Jera

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Eksekutif Nasional, menekankan pentingnya sanksi pidana terhadap korporasi pelanggar hukum lingkungan yang berulang.

“Sanksi pidana diperlukan agar ada efek jera. Apalagi dampaknya sudah merusak sungai, meracuni mata air warga, hingga memicu kebakaran hutan besar-besaran,” tegasnya.

Pos terkait