kaltengpedia.com – Kasus pembunuhan yang melibatkan anggota polisi dan seorang sopir taksi online di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, mencuat ke publik dengan berbagai versi kronologi yang berbeda. Kejanggalan dalam penanganan kasus ini membuat kuasa hukum Muhammad Haryono, sopir yang juga menjadi tersangka, berencana mengajukan praperadilan.
Parlin Bayu Hutabarat, kuasa hukum Haryono, menyebut bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka “tidak tepat” karena Haryono bertindak di bawah tekanan dan ancaman dari Brigadir Anton Kurniawan, anggota polisi yang menjadi tersangka utama dalam kasus ini.
Kronologi Versi Kuasa Hukum Haryono
Menurut Parlin, peristiwa ini bermula ketika Brigadir Anton meminta Haryono menjemputnya di Jalan Tjilik Riwut, Palangkaraya, pada 26 November 2024. Anton kemudian meminta Haryono mengemudikan mobilnya, Daihatsu Sigra, dan membawa mereka ke arah yang tidak jelas.
Pada 27 November 2024, setelah perjalanan menuju Katingan Hilir, Anton memaksa Haryono berhenti di jalan dan memperkenalkan diri sebagai anggota polisi kepada Budiman Arisandi, seorang sopir mobil bak terbuka. Anton mengajak Budiman untuk ikut dengannya, mengklaim adanya laporan pungutan liar di Pos Lantas 38.
Menurut klaim Haryono, saat itulah Anton menembak Budiman dua kali di dalam mobil. Haryono yang ketakutan hanya bisa menuruti perintah Anton, termasuk membantu membuang jenazah korban di daerah Katingan Hilir dan membersihkan bekas darah di mobil.
“Brigadir Anton memaksa Haryono terlibat. Bahkan uang Rp15 juta yang diberikan kepada Haryono sebagai ‘upah’ juga telah dikembalikan sebagian besar karena klien kami tidak mau terlibat lebih jauh,” ujar Parlin.
Kronologi Versi Polisi
Di sisi lain, Kapolda Kalimantan Tengah Djoko Poerwanto menyebutkan bahwa pembunuhan terjadi ketika Brigadir Anton dan Haryono berada dalam mobil bersama korban. Anton disebut-sebut menembak Budiman tanpa alasan jelas saat perjalanan menuju Katingan.
Jenazah korban kemudian dibuang di Katingan Hilir, sementara mobil korban diambil alih oleh Anton dan Haryono. Penyelidikan polisi mengungkapkan bukti keterlibatan Haryono melalui pengakuannya sendiri dan sejumlah barang bukti, termasuk uang Rp15 juta dari Anton.
Kejanggalan yang Dipersoalkan
Kuasa hukum Haryono menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus ini:
- Proses Penangkapan dan Penetapan Tersangka
Haryono ditangkap tanpa surat pemberitahuan kepada keluarga. Surat penangkapan dan penetapan tersangka baru diberikan setelah pihak keluarga datang ke Polda Kalteng untuk menjenguknya. - Status Haryono sebagai Korban Tekanan
Parlin menyebut bahwa kliennya tidak memiliki niat jahat dan bertindak di bawah ancaman Brigadir Anton, sehingga tidak layak dijadikan tersangka. - Motif yang Belum Jelas
Hingga kini, motif Brigadir Anton menembak Budiman belum terungkap secara gamblang. - Bukti yang Diragukan
Uang Rp15 juta yang diklaim sebagai upah diduga diberikan sebagai paksaan, bukan inisiatif Haryono.
Juliani, istri Haryono, mengaku khawatir dengan kondisi mental suaminya yang berubah sejak peristiwa tersebut. “Dia sering melamun dan seperti orang gila,” ujar Juliani. Ia berharap suaminya dapat diperlakukan dengan adil karena hanya menjadi korban tekanan dari Brigadir Anton.
Parlin Bayu Hutabarat memastikan akan mengajukan praperadilan untuk membela kliennya. “Kami meminta transparansi dan keadilan dalam kasus ini. Penetapan tersangka terhadap Haryono sangat tidak tepat,” tegasnya.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan oknum polisi dan dugaan pelanggaran prosedur dalam penanganannya. Masyarakat berharap agar pihak berwenang dapat mengungkap kebenaran secara transparan dan memberikan keadilan bagi semua pihak.